pertanyaan tentang bid ah

BIDAH; Beberapa Pertanyaan dan Jawabannya. Oleh: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin. Mungkin ada diantara kita yang bertanya bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khattab r.a. setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan jama'ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata Top 10 Des Sites De Rencontre Belge. بسم الله الرحمن الرحيم Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Berbagai Pertanyaan di Akun Facebook Beliau Jawab Soal Tentang Bid’ah Kepada Abdulla Amer Pertanyaan Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Kemarin, orang-orang sedang keluar dari shalat Jumat. Orang-orang berjubel di pintu masjid, lalu seseorang berkata “shallû alâ an-nabiy –bershalawatlah kepada nabi-. Maka seseorang yang lain berkata “diamlah, itu bid’ah.” Pertanyaannya, apakah itu bid’ah atau tidak? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Jawab Wa alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu. Ucapan orang itu “shallû alâ an-nabiyyi –bershalawatlah kepada nabi- di pintu masjid bukan merupakan bid’ah. Hal itu karena bid’ah adalah menyalahi perintah asy-Syâri’ yang dinyatakan tatacara penunaiannya. Bid’ah secara bahasa seperti dicantumkan di Lisân al-Arab al-mubtadi’ alladzî ya’tî amran alâ syubhin lam yakun … -orang yang melakukan bid’ah adalah orang yang mendatangkan perkara pada gambaran yang belum ada … wa abda’ta asy-syay’a ikhtara’tahu lâ alâ mitsâlin –anda melakukan bid’ah Anda melakukan inovasi tidak menurut contohnya”. Bid’ah itu secara istilah juga demikian. Artinya di situ ada “contoh” yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan seorang muslim melakukan yang menyalahinya. Ini berarti menyalahi tata cara syar’iy yang telah dijelaskan oleh syara’ untuk menunaikan perintah syara’. Makna ini ditunjukkan oleh hadits وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ» [البخاري ومسلم] Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tidak ada ketentuan kami atasnya maka tertolak HR al-Bukhari dan Muslim Begitu. Siapa yang sujud tiga kali dalam shalatnya dan bukannya dua kali, maka dia telah melakukan bid’ah. Sebab dia menyalahi perbuatan Rasul saw. Siapa yang melempar jumrah delapan kali lemparan, bukan tujuh lemparan, ke Jamarât Mina maka dia telah melakukan bid’ah. Sebab ia juga menyalahi perbuatan Rasul saw. Siapa yang menambah lafazh adzan atau menguranginya maka ia telah melakukan bid’ah, sebab ia menyalahi adzan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw… Sedangkan menyalahi perintah syara’ yang tidak dinyatakan tatacaranya, maka itu masuk dalam bab hukum syara’. Maka dikatakan itu adalah haram atau makruh … jika itu merupakankhithab taklif, atau dikatakan batil atau fasad … jika merupakan khithab wadh’i. hal itu sesuai qarinah yang menyertai perintah tersebut … Sebagai contoh, imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Aisyah ra., dimana beliau menggambarkan shalat Rasulullah saw, Aisyah berkata Rasulullah saw … وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ، حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا، وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ، لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا… » Rasulullah saw jika beliau mengangkat kepada setelah ruku’, beliau tidak sujud hingga tegak berdiri, dan jika beliau mengangkat kepala dari sujud, beliau tidak sujud hingga duduk tegak … Didalam hadits ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa seorang Muslim setelah bangkit dari ruku’, ia tidak sujud hingga ia berdiri tegak, dan jika mengangkat kepala dari sujud, ia tidak sujud lagi hingga ia duduk tegak. Tatacara ini dijelaskan oleh Rasulullah saw. Maka siapa saja yang menyalahinya, ia telah melakukan bid’ah. Jadi jika seorang yang sedang shalat bangkit dari ruku’ kemudian sujud sebelum berdiri tegak, maka ia telah melakukan bid’ah. Sebab ia menyalahi tata cara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. Bid’ah ini adalah sesat dan pelakunya berdosa besar. Akan tetapi contoh lain, imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Ubadah bin ash-Shamit ra., ia berkata aku mendengar Rasulullah saw bersabda يَنْهَى عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرِ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرِ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحِ بِالْمِلْحِ، إِلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ، عَيْنًا بِعَيْنٍ، فَمَنْ زَادَ، أَوِ ازْدَادَ، فَقَدْ أَرْبَى» Rasulullah saw melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, shorghum dengan shorghum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali harus sama, berupa bendanya dengan bendanya. Siapa saja yang menambah atau minta tambah, maka sungguh telah berbuat riba Seandainya seorang Muslim menyalahi hadits ini, lalu ia menjual emas dengan emas tapi berlebih satu dengan lain, dan bukannya sama timbangannya, maka ia tidak dikatakan telah melakukan bid’ah, melainkan dikatakan telah melakukan keharaman yakni riba. Ringkasnya menyalahi tatacara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw adalah bid’ah. Sementara menyalahi perintah Rasul saw yang bersifat mutlak tanpa ada penjelasan tatacaranya, maka hal itu ada pada bab hukum syara’ haram, makruh … batil dan fasad… hal itu sesuai dalil yang menunjukkannya. Di dalam pertanyaan Anda, Rasul saw tidak menjelaskan tatacara ucapan yang menyertai ketika keluar dari masjid setelah Shalat Jumu’at. Karena itu, ucapan muslim itu sementara ia sedang keluar dari masjid, yaitu “shallû alâ an-nabiy” –bershalawatlah kepada Nabi saw- tidak ada dalam bab bid’ah, aka tetapi dikaji dalam koridor hukum-hukum syara’. Dan ucapan itu adalah boleh tidak ada masalah apa-apa. Bahkan mendapat pahala sesuai niyatnya, in sya’a Allah. Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah 28 Rajab 1434 07 Juni 2013 Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan, “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi, dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Seandainya itu perkara baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.” Tark Tak Selalu Bermakna Tahrim Ketika Nabi tidak melakukan suatu hal–dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut “at-tark”— mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim pengharaman. Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu hal hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau sebab sebagai manusia, Nabi yang suci dari dosa [ma’shum] diliputi pula oleh keterbatasan fisik dan lingkungan kultural—red, atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi, hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru. Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal, dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-tark tidak melakukan saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaidah mengatakan مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain". Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf." Jadi, perlu diketahui bahwa ada sebuah kaidah ushul fiqh تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang". At-tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang untuk melakukan sesuatu yang ditinggalkan tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al-matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-tark saja. Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal ada 1 nahy larangan, atau 2 lafazh tahrim atau 3 dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا Maknanya "..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" al Hasyr 7 Allah tidak menyatakan وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah." Al Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan "فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ". "Jadi at-tark tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya". Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ "Ibnu Baththal mengatakan, Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah konteks, red lain –demikian pula tark-nya—tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman’." Kitab Fathul Bari, 9/14 Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar "وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-tark saja mujarrad at-tark tidak menunjukkan pengharaman. Perihal Tuntutan “Mana Dalilnya?” Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan, “Ini tidak ada dalilnya!”, dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut. Pertama, dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ Maknanya “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” al Hajj 77 Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaidah mengatakan العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ "Dalil yang umum diterapkan digunakan dalam semua bagian-bagian cakupannya." Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil. Mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata. Kedua, dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja, misalnya, dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup. Ketiga, dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, hadits itu ada yang muttafaq ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi shihhatihi Lihat as-Suyuthi, al-Hawi lil Fataawi 2/210, Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul. Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya. Hati-hati Terperosok! Ada sebuah kaidah yang sangat penting dalam beristidlal—orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih h. 132 وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ "Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun terpercaya meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya, hadits itu bisa tertolak karena beberapa hal. Kemudian beliau mengatakan Kedua hadits tersebut menyalahi nash Al-Qur’an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh telah dihapus dan tidak berlaku lagi. Ketiga hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu umat sepakat untuk menyalahinya". Orang yang tidak mengetahui kaidah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran adz-Dzahab al Muhallaq seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash Al-Qur'an seperti firman Allah أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ Maknanya "Dan apakah patut menjadi anak Allah orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". az-Zukhruf 18 Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh telah dihapus dan tidak berlaku lagi. Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً "Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22. Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi. Teladan Toleransi Ulama Salaf Dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari para ulama mujtahid mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda. Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya. Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti mazhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua umat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaidah yang disepakati لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ “Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya mukhtalaf fih di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya mujma’ alayhi.” Lihat as-Suyuthi, al-Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al-Fawa-id al-Janiyyah, h. 579-584 Maksud dari kaidah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda. Wallahu a'lam. Ustadz Nur Rohmad, Dewan Pakar Aswaja NU Center PCNU Kabupaten Mojokerto Pertanyaan Ke 1 Dalam al Qur'an dan semua Hadits Nabi tidak ada tersirat definisi dari masalah bid'ah dan pembagian bid'ah kepada lima itu hanya buatan Ulama saja?? Jawab Ya,memang definisi dan pengertian dari bid'ah tidak tersebut di dalam dalil Al Quran dan oleh para Ulama telah mengistimbatkan dari al Quran dan Hadits yang bertalian dengan masalah keseluruhannya,maka di buatlah definisi dari bid'ah. Sekelas Imam syafi'i terkenal dengan nama julukan"Ahlul Hadits",yaitu ahli dalam bidang masalah ilmu Hadits dan Imam Hanafi terkenal sebagai"Ahlul Rayi",yaitu ahli berpendapat mengistimbatk hukum. Kitab kitab karangan Imam syafi'i yang penuh dengan Hadits Yang shahih-shahih terutama sekali adalah kitab Al Umm yang besar. Dan sekelas Imam ibnu Hajar al Asqalani pembuat ta'rif bid'ah termasuk ahli dalam ilmu Hadits adalah pengarang kitab"Fathul Bari",yaitu syarah kitab Hadits Imam Bukhari. Imam Nawawi bukan saja ahli fiqih tetapi juga ahli ilmu Hadits dan kitabnya yang bernama "Syarah Muslim","Riyadhus Shalihin",al Adzkar dan pula Hadits arba'in membuktikan bahwa beliau juga ahli dalam ilmu Hadits. Imam 'Izzuddin bin Abdussalam wafat 660 H merupakan seorang Ulama besar juga, beliau ahli dalam ilmu tafsir dan ahli Hadits yang sudah mencapai derajat ilmunya kepada Imam mengarang kira kira sebanyak 30kitab dalam berbagai masalah Ilmu,diantaranya adalah kitab"Qawidul Ahkam fi Mashahalihil Anam" dan kitab"Majaz al Qur'an" beliaupun di berikan gelar julukan sebagai"Sultan Ulama Ulama". Baca juga; RPP 1 Lembar 2020 PKN SMA/MA kelas 10 Maka beliau beliau inilah yang membuat definisi dari bid'ah itu dan dari para beliaulah membagikan bid'ah kepada lima bagian yaitu sesudah mengistimbatkan al Qur'an dan Hadits yang bersangkutan dengan persoalan bid'ah. Pertanyaan Ke 2 Pada beberapa buku yang telah kami kutip bahwa definisi dari bid'ah adalah sesuatu yang tidak punya kalau sesuatu itu punya dalil apalagi tersebut di dalam kitab Bukhari dan Muwatha' itu bukan bid'ah lagi. Benarkah pendapat ini?? Jawab Pendapat ini sangat keliru dan tidak terarah. Yang di namakan bid'ah ialah sesuatu amalan agama yang tidak dikenal di diketahuinya pada zamannya Nabi,tetapi kemudian muncul sesudah wafatnya baginda Nabi. Jadi,mengenai sembahyang tarawih berjamaah 20 rakaat,walaupun ada dalilnya yaitu"Sunnah Khulafaur Rasyidin".juga digolongkan ke dalam bid' bid'ah hasanah bagus .Bukan bid'ah madzmumah tercela. Kami pernah mengutip di dalam kitab Hadits Imam Bukhari pada halaman 242 juz 1,dan pula di dalam kitab Muwatha' juz 1 halaman 136-137,di jelaskan perkataan Saidina Umar RdaSebaik baik bid'ah adalah ini tarawih berjamaah 20 rakaat. Karena masalah shalat terawih ini dikatakan oleh beliau setelah Saidina Umar melihat orang orang sembahyang tarawih 20 rakaat berjamaah sebulan penuh di mesjid. Di dalam kitab Imam Bukhari juga di terangkan bahwa mengumpulkan ayat-ayat al Quran untuk dijadikan satu buku merupakan bid' tidak dilakukan dikenal pada zamannya Nabi Perkara ini juga dikatakan bid'ah walaupun sudah ada dalilnya yaitu Sunnah Khulafaur Rasyidin Fathul Bari juzu' x halaman 385-390. Lokasi ariv yabarwiel "DUNIA HANYA HIASAN,AKHIRATLAH TUJUAN" By arifullah Oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama’ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata “inilah sebaik-baik bid’ah …. dst”. Jawabannya. Pertama. Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman “Artinya Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih”. [An-Nuur 63]. Imam Ahmad bin Hambal berkata “Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa”. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata “Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar”. Kedua. Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar maskawin dengan firman Allah, yang artinya ” … sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak …” [An-Nisaa 20] bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar. Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya. Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu anhu menentang sabda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid’ah “Inilah sebaik-baik bid’ah”, padahal bid’ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam “Setiap bid’ah adalah kesesatan”. Akan tetapi bid’ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid’ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri. Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu anha berkata “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail bersama para sahabat tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda “Artinya Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya”. [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]. Jadi qiyamul lail shalat malam di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Namun disebut bid’ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya secara berjama’ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu’minin Umar Radhiyallahu anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid’ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid’ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid’ah untuk menyatakan perbuatan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah. Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam “Setiap bid’ah adalah kesesatan ?”. Jawabnya Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid’ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah “Sarana dihukumi menurut tujuannya”. Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat. Firman Allah Ta’ala. “Artinya Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. [Al-An’aam 108]. Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang. Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar’i, maka pembangunannya adalah diperintahkan. Jika ada pula yang mempertanyakan Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. “Artinya Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti meniru perbuatannya itu ..”. “Sanna” di sini artinya membuat atau mengadakan. Jawabnya Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula “Setiap bid’ah adalah kesesatan”. yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala atau sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyatakan “man sanna fil islaam”, yang artinya “Barangsiapa berbuat dalam Islam”, sedangkan bid’ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan “sunnah hasanah”, berarti “Sunnah yang baik”, sedangkan bid’ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid’ah. Jawaban lainnya, bahwa kata-kata “man sanna” bisa diartikan pula “Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah”, yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “sanna” tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan. Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda. “Artinya Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti meniru perbuatannya itu ..”. Dari sini, dapat dipahami bahwa arti “sanna” ialah melaksanakan mengerjakan, bukan berarti membuat mengadakan suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau “Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan”, yaitu “Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik”, bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau “Kullu bid’atin dhalaalah”. [Disalin dari buku Al-Ibdaa’ fi Kamaalisy Syar’i wa Khatharil Ibtidaa’ edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor – Jabar] Sumber Filed under Sunni Pertanyaan Saya sering mendengar ustadz bicara tentang bid’ah. Apa sih definisi bid’ah dan contoh nyatanya di masyarakat sekarang? andiga putra Jawaban Bismillah. Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-I’tisham, memberikan definisi bid’ah, sebagai berikut, طريقة فيالدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله “Jalan dalam meniti kehidupan beragama, yang jalan itu merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan menyerupai syariat, dan dia dilaksanakan dengan tujuan memperbanyak ibadah kepada Allah.” Contoh nyata bid’ah adalah tahlilan dan peringatan kematian. Jika ditilik dari definisi di atas maka perbuatan ini termasuk bid’ah, dari beberapa sisi Tahlilan merupakan jalan dalam meniti agama. Karena itulah, acara ini dilakukan terus-menerus. Dibuat-buat; karena acara ini tidak memiliki landasan dalil. Menyerupai syariat; dalam acara ini ada aturan tertentu yang tidak boleh dilanggar, saperti bacaan, urutan bacaan, dan rangkaian acara lainnya. Dilaksanakan untuk tujuan memperbanyak ibadah kepada Allah; semua orang yang mengikuti acara ini sepakat bahwa tujuannya adalah ibadah, mencari pahala. Jika memenuhi definisi di atas, berarti tahlilan dan acara kematian termasuk bid’ah. Untuk kasus bid’ah yang lain, Anda bisa menggunakan definisi dari Imam Asy-Syatibi di atas. Semoga bermanfaat. Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits, dari Dewan Pembina Konsultasi Syariah. Artikel 🔍 Wanita Mandi Bersama Lelaki, Dialog Agama Islam Vs Kristen, Hukum Suami Tidak Menafkahi Istri, Niat Sholat Isya Sendiri, Ramalan Kematian Ciri Orang Akan Meninggal, Niat Tidur KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO CARA SHOLAT, ATAU HUBUNGI +62813 26 3333 28

pertanyaan tentang bid ah